Pages

6/11/13

Dianggap Miris

Sekali lagi mengenai konsep yang berbeda yang coba ditanamkan mereka mengenai bagaimana seseorang seharusnya mengisi waktu sehari-harinya. awal cerita di mulai ketika seorang pemuda yang masih sekolah dan memang tidak banyak yang dilakukan untuk mengisi waktunya. "terlalu banyak Tuhan memberi 24 jam dalam sehari" begitu kira-kira bisikan hatinya setiap hari. sejak itu lah ia menemukan komunitas yang sering melakukan pertemuan, acara, sharing, dll. Seiring berjalannya waktu, kegiatan, pola pikir, mimpi, visi dan misi pemuda ini pun berubah. Perubahan signifikan adalah memulai kuliah di suatu perguruan tinggi swasta, membantu orang tua nya bekerja setiap hari (full time worker), dan suatu hal yang hampir tidak mungkin terjadi yaitu ambisinya untuk melanjutkan pasca sarjana padahal semasa sekolah hampir memilih untuk berhenti sekolah (akan di ceritakan di lain waktu). dengan kondisi yang seperti itu, hampir bisa dipastikan padat sekali waktu dalam hidupnya. kira-kira itu lah beberapa hal penting yang mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup si pemuda yang berasal dari keluarga sederhana ini.

Konflik sepertinya sudah jelas terjadi disini ketika saya menceritakan perbedaan ideologi dan kebiasaan komunitas yang ada dengan si pemuda ini. Titik berat saya bukan kepada bagaimana menyelesaikan perbedaan yang ada, jawabannya yah keluar saja dari komunitas tersebut karna tidak ada lagi kesamaan kesepakatan mengenai simbol-simbol terkait misalnya kehadiran, fokus pada kelompok, dll. fokus saya kali ini mengenai respon dari anggota kelompok yang mengaku memegang prinsip kebenaran ini, yang menganggap si pemuda ini sudah keluar dari kebenaran. Anggapan atau interaksionisme simbol yang terbentuk ini agaknya sangat membuat pemuda ini tidak nyaman. Tekanan dari dunia luar dan ambisinya menyelesaikan pasca sarjana sudah membuat darah dalam tubuhnya berpacu dengan detik waktu setiap saat. ditambah lagi satu-satunya komunitas yang ia anggap sebagai tempat pemulihan jiwa dan roh mengecewakannya dengan memberi anggapan buruk.

Dianggap "miris"
Realitas yang lucu ketika kita melihat konflik ini dengan sudut pandang yang lebih luas. Si pemuda di anggap atau di cap sebagai pemuda yang miris karena tersesat (tidak hadir dalam komunitas/ instansi tsb) padahal sipemuda punya alasan logis menurut pola pikirnya sendiri. Di sini saya tidak sedang mendramatisir keadaan si pemuda ini untuk menjatuhkan instansi atau komunitas terkait, namun disini saya mau sharing sesuatu yang mungkin bisa jadi pelajaran buat kita semua untuk sebisa mungkin tidak memberi anggapan tertentu pada seseorang (walaupun hampir tidak mungkin).
Just Keep in Positive Thinking.

11/9/12

Self Concept- Konsep Diri

George Herbert Mead, adalah seorang ahli dan pakar dalam teori-teori yang berkaitan dengan konstruksi sosial. Salah satu teorinya yang terkenal adalah teori Interkasionisme Simbolis (Symbolic Interaction). Dalam teori Symbolic Interaction (SI), Mead melakukan pengembangan pada teori Blumer yang mengkonsepkan bahwa makna, bahasa, dan pikiran terbentuk dari hasil interkasi (Griffin,2012:55). Segala sesuatu (symbol) bisa terbentuk karena adanya kesepakatan antara manusia yang berinteraksi. Contoh: penggunaan celana skinny menjadi trend di hampir seluruh kalangan anak muda ditahun 2012, maka simbol "keren" pada tahun 2012 adalah ketika seseorang menggunakan celana skinny. Konsep ini membawa pemikiran Mead bahwa "diri" atau self juga merupakan hasil dari interkasi sosial. Saya terkesan dengan statement Mead yang mengatakan bahwa "dunia ini adalah panggung sandiwara". Setiap kita memainkan peran masing-masing yang ditentukan dari apa yang ada di dalam diri kita, dan apa perlakuan sosial terhadap kita sehingga kita memainkan suatu peran sebagai "self". Untuk penjelasan yang komperhensif bisa baca bukunya sendiri yaaa..:p

Konsep Diri
Dari teori ini saya mencoba mengkaitkan dengan pengajaran gambar diri yang pernah saya dengar sebelumnya. Pengajaran ini menjelaskan bahwa manusia di ciptakan sempurna dan unik satu sama lain. Sampai disini saya setuju, namun kemudian point berikut yang coba ditanamkan adalah setiap kita "berharga". Hal ini yang kemudian membuat saya berpikir, konsep "berharga" sudah terbentuk sedemikian rupa oleh proses interaksi sosial (seperti yg dijelaskan diatas) menjadi suatu simbol yang sudah disepakati bersama (memiliki nilai dan standart tertentu bagaimana suatu entitas dikatakan berharga).

Konstruksi Realitas
Simbol sebagai makna yang disepakati bersama, ternyata juga bisa dengan sengaja dibentuk. Untuk melakukan pembentukan kesepakatan makna bersama, tentunya dibutuhkan strategi dan tools yang powerful juga misal: media. Contoh: Mattel Toy Company menciptakan boneka barbie yang kemudian dikemas dalam sebuah film dengan cerita yang dramatis, dsb. Coba kita lihat dari dampak adanya film tersebut, tanpa kita sadari ternyata Amerika mampu menciptakan makna bersama (simbol) kecantikan adalah seperti barbie! Dan mereka berhasil. Simbol cantik yang di gambarkan pada barbie adalah kulit putih, badan kurus, hidung mancung, rambut pirang, dsb. Terlepas dari pemikiran adanya konspirasi Amerika, kita bisa lihat dari bagaimana mereka memasuknya konsep "cantik" dalam persepsi semua orang pada saat itu melalui media. Kembali kepada pengajaran tentang gambar diri. Pesan yang insepsikan kepada setiap orang dalam pengajaran ini adalah anda "berharga apa adanya". Itu artinya saya dapat mengasumsikan, pengajaran ini mencoba mengkonstruksi realitas bahwa dengan "apa adanya" anda sekarang, anda "berharga". Nah, pertimbangan saya sbb: konstruksi relitas yang diinsepsikan mungkin berhasil. Tapi perlu di ingat, makna "berharga" hanya akan terbatas pada kalangan terbatas saja (lingkungan komunitas pengajaran) hal ini menjadi masalah ketika orang bersangkutan, berinteraksi dengan lingkungan luar komunitas. Sudah dapat dipastikan, makna "berharga" itu luntur dengan sendirinya.

Saya hanya mencoba melihat dari sisi logis dan realita yang terjadi. Saran saya adalah, lakukan perubahan dari dalam diri dengan motivasi menjadi orang yang lebih baik setiap hari, agar kita bisa memainkan "peran" sebagai orang yang berharga di panggung sandiwara ini.

Refrensi:


Griffin, E. (2012). A First Look At Communication Theory. New York: McGraw-Hill.